"XYCLO" Pameran Perupa Muda Pilihan Ugeng T. Moetidjo


Blogger Gallerry Tour "Galeri Kertas Studio Hanafi Rumah Pencipta Perupa-Perupa Muda"
 

Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati
Lokasi : Galerikertas-Studiohanafi 
Jl. Raya Cinere. Gang Manggis No.72 Parung Bingung-Depok

Galerikertas merupakan ruang pameran untuk karya seni visual dan seni rupa yang menggunakan kertas, baik sebagai media, material, atau apapun kemungkinan penciptaan lainnya. Galerikertas merupakan ruang edukasi sekaligus promosi yang disediakan Studiohanafi untuk seniman muda di Indonesia yang berkarya menggunakan kertas, baik kertas sebagai medium, material, atau apapun kemungkinan penciptaan lainnya.

Galerikertas sebelumnya adalah Studi Hanafi. Tujuan Galerikertas adalah untuk regenerasi seniman, seniman muda khususnya. Untuk kali ini adalah pameran seniman muda dengan tema"XYCLO" yang sebelumnya dipilih oleh perupa senior yaitu Ugeng T. Moetidjo. Ugeng mengundang seniman muda dan menyeleksi untuk menaruh karya-karyanya di Galerikertas. Fungsi galeri kertas untuk memperkenalkan karya-karya ketujuh perupa muda agar dapat dilihat oleh publik. Galeri kertas tidak hanya memilih orang untuk menaruh karyanya saja, tetapi ada waktu selang sebelum pameran digunakan untuk diskusi langsung dengan perupa senior supaya karya ini lebih dapat diterima oleh publik. Ugeng T. Moetidjo adalah perupa senior yang mungkin memang belum begitu familiar di telinga banyak orang. Tak kenal maka tak sayang, kenalan terlebih dahulu dengan karyanya kali ini XYCLO dari perupa-perupa muda yang beliau ciptakan.



XYCLO

Dalam tulisan kuratorial Ugeng T. Moetidjo. XYCLO (dibaca: “syaiklo”) adalah semacam siklus yang mau memerankan dalam waktu singkat--selama sepuluh hari durasi pameran--evolusi gestur atas modus pemanfaatan ruang (galeri) dari visualisasi yang tampil sebelumnya di tema gambaur ke XYCLO. Di tataran itu, terlihat jelas bukan hanya perbedaan model gagasan antara karya-karya dan kerja-kerja yang diproduksi sebelumnya, tapi juga fakta tentang proses memaknai. Yang pertama masih menyisakan residu dari ragam definisi seni rupa sedangkan yang kedua ke imajinasi yang relatif lebih terbebas dari beban itu. Kami lalu berkumpul dan mengundi judul-judul usulan untuk menemukan nama yang pas. Betapa rumitnya ketika seni dikurung dalam pembicaraan--sebab apa yang diproduksi sebenarnya hanya sesuatu yang terlanjur disebut seni. Padahal, seni makin tidak terbatas. Ia kian ada di luar cara-cara metode dan kategorisasi sehingga saat itu cukup ricuh buat menentukan istilah yang benar-benar bisa dengan kena menjelaskan pameran ini tanpa bluffing blah blah blah. Nama itu penting.

Tapi posisinya kini sama kalau kita bikin hastag tiap hari. Begitulah, fokus pameran lanjutan di tangan tujuh perupa muda ini mengeksekusi genus dari bagian-bagian bukan kehidupan tiap perupa tapi lingkup fragmenter dari kultur bersama mereka. Bukan bekerja lewat anggapan seni itu self portrait senimannya, ketujuh mereka lebih berperan sebagai produser yang memproduksi--malahan mereproduksi--dan menjauhkan ide the creation, mencipta. Karenanya, putaran evolusi itu di sini ditulis bukan dengan “Siklus” atau “Cyclo” atau “Siklo” dengan alasan mendasar munculnya efek penggunaan huruf X dan Y pada nama “XYCLO”.


Mirip representasi genera X dan Y yang asal-usulnya keluar dari berbagai ingatan psikosomatik pada produkproduk mimikris. Melewati ranah konsensual, mereka masuk ke konsensus baru. Sama seperti kecenderungan tipografi kontemporer tidak lagi perlu huruf-huruf vocal sebab huruf-huruf konsonan ternyata juga punya bunyi atau bisa dibunyikan. Desain kata tertentu juga sudah tidak lagi peduli pada ritme sukukata tetapi lebih ke komposisi visual. Mereka sadar, dunia kini yang ditatap boleh tidak lagi bertahan pada disiplin formal bahasa: penulisan dan pembagian sukukata. Performativitas mereka secara otomatis jadi bagian dari perayaan bersama aktifitas-aktifitas budaya keseharian pada ragam produksi yang lalu disebut seni. Seni itu sekarang, pada dasarnya, adalah suatu kesenangan, sejenis kegembiraan yang merepresentasikan imajinasi tentang apa adanya.


Mereka relatif memainkan peran signifikan--seremeh apa pun-- di situasi global lewat pilihan-pilihan performative ketimbang tampak merenung dicekam kemurungan. Jika yang sebelumnya jelas merupakan bagian dari survival bergaya eksistensial, yang berikutnya adalah keriangan dalam perayaan komunal. Begitulah budaya kontemporer memainkan model-model fungsionalnya lewat kasus seni sebagai contoh dan pemicu dalam pameran ini. Karyakarya mereka tidak perlu tampil diri sebagai bagian dari wacana historis seni rupa entah lokal entah regional, tapi dengan santainya malah menunjukkan atensi kuat pada yang global yang sama-sama digiatkan anak-anak muda lainnya di berbagai penjuru dunia. Mereka melapangkan jalan bagi saat ketika seluruh penghuni kelak sudah benar-benar jadi

warga satu negara bersama. Jadi, di sini dalam hal ini, seni itu bukan instrumen tapi elemen. Maka, cara kita menatap harus diubah, digeser dari yang nilai ke yang fenomen. 
 





Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati
Lokasi : Galerikertas-Studiohanafi 
Jl. Raya Cinere. Gang Manggis No.72 Parung Bingung-Depok



Setelah penjelasan apa sih Galerikertas dan pameran "XYCLO" tulisan kuratorial Ugeng T. Moetidjo selanjutnya saya akan bercerita lebih dalam mengenai karya-karya para 7 Perupa Muda pilihan Ugeng T. Moetidjo.

Hadir dalam acara Blogger Gallery Tour kali ini menjadikan pengalaman menarik yang setidaknya tidak akan bisa dilupakan. Melihat dengan seksama karya-karya para 7 Perupa Muda pilihan Ugeng T. Moetidjo dan kami Menggali proses kreatif pembuatan karya serta membincang hal ihwal tentang seni rupa. 



Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati
7 Perupa Muda Pilihan Ugeng T. Moetidjo
Merekalah 7 Perupa Muda Pilihan Ugeng T. Moetidjo diantaranya Asmoadji, Gilang Mustofa, Ivan Oktavian, Jinggam, Kevin Nathaniel, Amiiko, dan M. Raka Septian. Bermula dari Galerikertas yang mencari regenerasi seniman muda yang memiliki karakter sesuai dengan Ugeng T. Moetidjo. 
Setiap seniman memiliki karakternya sendiri-sendiri. Buat mereka yang terpenting itu berkarya tanpa batas. Karya yang mereka buat pengaruhnya tidak jauh dari ruang lingkup mereka tinggal. Ada dua karya Ivan Oktavian dan Gilang Mustofa yang menceritakan dari mana mereka lahir. 

IVAN OKTAVIAN



Ide karya ini beranjak dari peristiwa pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung di mana Negara membeli setengah tanah kampung halaman perupa sehingga mau tak mau menggusur rumah-rumah di tanah yang Negara beli tersebut. Warga-warga yang notabene lahir dan dibesarkan di rumahnya di kampung itu berangsur-angsur berpindah mencari tempat huni baru. Dalam karya ini perupa mencoba melakukan rekonstruksi sisa-sisa bangunan rumah teman, para tetangga dan saudara-saudaranya dengan cara menggambarnya, yang dalam prosesnya begitu mengundang rasa sentiment yang berlebihan. 



        Gambar : Ivan Oktavian
Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati

Rekonstruksi ini memiliki harapan jadi sesuatu yang bersifat nostalgia tentang kampung halaman, bagi perupa muda sendiri, teman, saudara, dan para tetangganya. Bahkan semua orang punya cerita nostalgia tentang kampung halamannya.


“ Rekonstruksi sentiment”
Arang dan pastel di atas poto print
Runtuhan rumah, puing rumah 2018

 Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati

Masing-masing perupa diberikan waktu 10 hari untuk mengerjakan karya galeri tersebut. Waktu yang dibutuhkan Ivan dalam sepuluh hari, Melakukan pengeksekusian karya di studi membutuhkan waktu 3 hari, minggu pertama lebih fokus pemotretan foto dan pengambilan bongkahan.

Karya Ivan berangkat dari kesehariannya. Bagi Ivan sendiri ini adalah karya pertamanya. Foto yang berada di sayap kiri adalah foto original yang tidak digambar bekas-bekas bangunan yang sekarang ini dihancurkan. Di kampung perupa ini yang terkena gusur sekitar kurang lebih 50 unit rumah dan sisanya belum dihancurkan masih menunggu persetujuan kesepakatan mengenai kompensasi. Ivan berharap orang-orang yang notabennya tinggal lama disana tulen disana ketika mereka rumahnya dibeli Negara, dan mengharuskan mereka mencari tempat huni baru dengan langkah ringan tanpa beban karena uang kompensasi dari Negara yang cukup lumayan. Permasalahan itu sama mungkin terjadi bagi setiap orang. Permasalahan itu bukan permasalahan yang tunggal bagi perupa muda dan bagi daerahnya. Tetapi permasalahan itu sangat mungkin bisa terjadi kepada khalayak umum, kepada publik yang menyaksikan galerinya ini.


GILANG MUSTOFA


Silang adalah penggambaran tentang pengalaman yang perupa dapat di dalam mimpi yang tumpuh tindih, narasi yang acak, dan hanya muncul visual benda-benda domestik di dalam sebuah ruangan. Menariknya, di dalam mimpi itu perupa tidak bertemu atau menemukan sosok orang satu pun di sana. Perupa pikir, mungkin bentuk mimpi ini muncul karena sifat perupa yang lebih senang menyendiri. Perupa tidak mencoba mencari permasalahan apa yang ada di dalamnya tetapi perupa mencoba bermain dengan objek benda-benda lewat satu komposisi antara memainkan ruang yang nyata dan yang tidak nyata.



       Gambar : Gilang Mustofa
Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati

Lalu, perupa tarik pengalaman itu ke dalam sebentuk instalasi rumah sebagai analogi ruang dan objek benda-benda yang menumpuk sebagai analogi dari narasi yang acak dan tumpang tindih.



“Silang”

Bambu Kertas wajik

Ukuran beragam

2018
 Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati


Mereka menganggakat permasalahan yang terjadi pada budaya dirinya sendiri, karena itu yang terjadi di diri mereka sendiri. Sosok Gilang Mustofa tertarik sesuatu bentuk yang sifatnya duniawai, tidak tertarik dengan figur atau seseorang karena ia menganggap dialah figurnya sendiri.


Muhammad Raka. S




Dalam kisah Norp (Mitologi Nordik) yang pada awal kemunculannya di dataran Eropa Utara dongeng itu merupakan kepercayaan masyarakat sebelum kedatangan agama Kristen di sana. Mitos itu berisi kisah-kisah tentang makhluk supranatural dan tentang penciptaan dunia yang seluruhnya terangkum dalam Edda. Dongeng atau mitos tersebut sampai saat ini masih eksis dan sering digunakan sebagai inspirasi bagi film fiksi dan juga beberapa serial game, yang di dalam Norp (Mitologi Nordik) di kenal dengan Sembilan semesta (nine worlds) :
Asgard : Dunia para dewa-dewi yang keberadaan mereka dipercaya ada dipuncak pohon yang gdrasil.

Vanaheim : Dunia para vanis

Alfheim : Dunia para elf

Midgard : Dunia manusia

Jotunheimer : Dunia para jotun atau raksasa

Svartalfheim : Dunia para svartalfar

Niddhavelir : Dunia para Dwarf

Nilfheim :Dunia bawah tanah

Muspell : Dunia api


         Gambar : Muhammad Raka. S
      Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati


Mitologi nordik mempunyai keterkaitan dengan beberapa hal yang dapat ditemukan pada zaman sekarang. Nama-nama hari dalam bahasa inggris, misalnya, diambil dari nama-nama dewa-dewi nordik. Dalam pameran kali ini perupa tidak secara keseluruhan mengangkat cerita mitologi Nordik tersebut. Tetapi, lebih tepatnya, karya ini lebih untuk menggambarkan setiap negeri dari kesembilan Negara Nordik itu sendiri. Menariknya, dari kesembilan Negara itu telah diangkat ke dalam serial game (God of War) yang berlatarbelakang mirip dengan legenda Nordik itu.




“Norp”
Mix Media
Paper & Lamp
2018

 Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati 
 
Dalam karyanya ini raka menghidupkan kembali dongeng-dongeng ini dalam bentuk karya. Bedanya raka dengan yang lain mungkin dari teknik lightingnya sendiri. Dalam karyanya yang pertama menceritakan ada lighting berwarna biru, maksudnya adalah suasana, suasana yang digambarkan dalam ingatannya  seperti itu. Jadi semisalnya kalau dilihat dari karya-karyanya ini, memang sepeti sendu-sendu gelap.

Selain itu,  terdapat karya perupa muda lain yaitu Jinggam dan Amiiko. Karya jinggam dan Amiiko memiliki garis merah bahwa setiap orang memiliki aktivitas yang menjadi menarik untuk diangkat ke umum.

Jinggam



Karya yang dibuat ini judulnya adalah KONEKSI. Kenapa judulnya adalah koneksi karena perupa muda sedang mencoba untuk mengkaitkan atau mengkoneksikan antara visual dengan visual mapping yang cahayanya menggunakan projector, jadi projector yang menghasilkan lampu/cahaya, terkoneksi dengan visual mapping itu sendiri, dan makanya dari situ menggambarkan koneksi dari karya ini sendiri. Alasan kenapa bentuk polanya seperti itu, karena bentuk ini memang sengaja di bentuk secara acak dan tidak kotak biasa atau bulet, 

                                          Gambar : Jinggam
                         Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati

karena untuk menggambarkan sebagai manusia yang mempunyai sifat random, yang mempunyai sifat acak dan kita tidak bisa menebak, hari ini dia seperti apa dan kita tidak tau besoknya bakal seperti bagaimana sifat atau karakteristik orang tersebut, dan Jinggam ingin mengkoneksikan antara satu individu dengan individu lainnya. Jadi dibuatkan secara terpisah juga untuk menggambarkan bahwa manusia pada momen-momen tertentu hidup untuk diri mereka sendiri, hidup untuk dunia mereka sendiri, tetapi untuk momentum yang lainnya juga saat mereka terkoneksi dengan yang lain, mereka akan membuat sesuatu yang lebih dari pada mereka membuat itu sendri, Seperti misalkan, gambar ini tanpa adanya mapping itu sendiri, tanpa ada visual mapping dan koneksipun masih bisa dinikmatin, tetapi mereka berdiri dengan diri mereka sendiri. Semenariknya mereka dan sebagusnya mereka, mereka berdiri atas dirinya sendiri, tetapi dengan adanya mapping mereka bisa bersinergi, mereka berirama dan menghasilkan sesuatu yang lebih dari sekedar mereka berdiri sendiri.
 



“KONEKSI”

Spray print & Projected mapping

Pada media kardus

2018
  Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati 


 Kredit Video : Dok. Depok menulis 




Amiiko

 
Gambar : Amiiko
  Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati 


Analogi dari kehidupan sehari-hari dan interaksi antar manusia sering menjadi fokus utama dalam karya-karya Amiiko. Dalam kesehariannya, manusia melakukan berbagai aktivitas dan melalui berbagai macam peristiwa. Hal-hal ini menarik yang dirasakan mereka kemudian terekam sebagai kesan, dan hal itulah yang lalu menjadi dasar pembentukan karya-karya Amiiko. Dalam setiap karya Amiiko ada tiga warna dominan yang masing-masing memiliki arti khusus. Warna hitam dan putih mengartikan masa lalu, sedangkan penggunaan warna merah menjadi analogi aksentuasi karakter dari setiap cerita. Kali ini Amiiko membuat 7 buah diorama. 7 macam kisah di dalamnya mewakili 7 hari dalam 1 minggu, yang menggambarkan adanya perubahan suasana hati yang ditimbulkan oleh aktifitas sehari-hari. Sedangkan karya Amiiko ruang kedua di pameran ini berupa ilustrasi yang disusun secara acak, minteraksi manusia pada satu lingkup yang sama dan di dalam interaksinya itu setiap manusia mengalami konflik. Selain itu ada pula instalasi si tangan merah yang melambangkan masalah dan intrik yang dihadapai manusia sehari-hari.



   Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati 



Jadi tangan merah ini sebagai analogi manusia itu sendiri. Sedangkan tokoh dalam karakter ini sendiri bernama Maiko. Jadi karya Amiiko menceritakan tentang kesehariannya Maiko. Amiiko memilih karakter jepang, karena itu karakter yang disuka. Amiiko memang tertarik dengan karakter jepang.



“ An Alterego Minded”
Tujuh boks, boneka kertas, 16 ilustrasi Instalasi, dimensi beragam 2018

  Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati 



Kevin Nathaniel


Karya ini hendak merefleksikan pendekatan antropologis dengan mengeksplorasi ruang liminal dan interaksi kehidupan sebagai konsepnya. Yang dimaksudkan dengan liminal itu sendiri di sini, selain berarti ruangan liminal dalam bentuk (fisik) aktualnya, tapi juga ruang liminaldi keadaan pikiran manusia. Yaitu tentang bagaimana ketika berhadapan atau mengalami sesuatu hal tertentu individu merasakan keadaan tidak nyaman atau berada dalam suatu situasi yang asing atau berbeda daripada biasanya. 




                                          Gambar : Kevin Nathaniel
                                Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati

Dan saat di mana kondisi mental seperti di ambang itulah ruang liminal berada, yaitu keadaan perasaan di antara kehilangan kesadaran akan kenyataan dan kesadaran yang  terperangkap dalam khayal. Karya ini ditampilkan seolah sebuah taman atau area publik dengan berbagai kemungkinan skenario yang sudah dirancang untuk diperlihatkan, dirasakan, dipahami dan dijelaskan dalam berbagai konteks untuk menunjukkan bahwa ruang liminal benar – benar memengaruhi kondisi mental setiap individu. 



“Seen/ Unseen Known/ Unknown”
Instalasi (Bata hebel, kertas, benang, lampu LED, Kursi)
2018
  Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati 

Judulnya Seen/ Unseen Known/ Unknown yang artinya Terlihat tidak terlihat. Kevin memilih pesawat, karena nostalgia masih kecil menyukai bermain pesawat-pesawatan dan trauma juga dengan pesawat. Digabungkan konsep ruang liminal dengan nostalgia masih kecil trauma naik pesawat jadilah karya ini terbentuk. Kevin membuat karya ini bertujuan untuk berbagi pengalamannya. Sedangkan konsep ruang liminal, karena ruang liminal itu sendiri bukan sesuatu hal yang aneh, bukan sesuatu hal yang biasa pada umumnya, jadi dia seperti hal-hal yang biasa saja jadilah pada akhirnya terbentuk karya ini.
 
Pesawatnya sendiri hampir berjumlah sekitar duaratusan antara ada seratus delapan puluh kertas pesawat. Hal yang paling uniknya pada saat kevin membuat pesawat yang berdiri, kevin mengalami kesulitan tetapi karena kesabarannya akhirnya kesulitan membuat pesawat berdiri teratasi dengan cara dijahit dengan benang. Selain itu kevin memainkan perspektif/ bayangan dalam karyanya tersebut. Sudut pandang dari bawah ke atas, atas kebawah. Makna warna putih buat kevin adalah karena memang tidak ada tujuan tertentu hanya karena kevin menyukai hal yang sifatnya miminalis dan simpel.



Sebelumnya ruangan ini adalah ruangan yan tidak terpakai, yang satu ruangan untuk tuas listrik dan tinggi sampai ke atas dan pada akhirnya kevin memiliki ide untuk memakai kayu dan papan triplek dan diubah total. Baginya cukup berat saat menata ruangan untuk karyanya. Sebelumnya karya kevin dianggap sama dengan karya seniman luar, menurutnya berbeda karena  sebelumnya karya orang luar sama main perspektif hanya main satu arah dan bentuk pesawatnya berbeda.

 ASMOADJI

    Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati 
Dalam transportasi publik jabodetabek seperti KRL, Bus dan angkot-angkot lainnya pada jam-jam sibuk. Orang-orang selalu memaksakan apa pun untuk masuk. Bagaimana caranya pun mereka lakukan walau sudah tidak memungkinkan, seperti dikejar-kejar waktu. Mereka rela desak-desakan tanpa ada rasa mengalah dan salin memaksakan diri terhadap sesamanya. Situasi ini mengakibatkan tumpukan orang di dalamnya akan menjadi pertanyaan: “Kamu yang mana?” Dari gambar di atas saya membuat sketsa beragam figure penumpang KRL dalam ukuran (mendekati) satu banding satu pada kertas art karton yang saya potong outline-nya saja dan akan saya gantungkan. Ada beberapa yang saya temple di dinding tetapi saya tampilkan bukanseluruh figurnya melainkan hanya separuh bahkan hanya kepalanya. Karena di saat mereka berdesakan mereka akan merasakan kakinya di mana?, badannya di mana?, bahkan kepala dan tangannya di mana? Itulah yang pada akhirnya akan menjadi “Kamu yang mana?”. Saya juga menambahkan sejumlah sketsa keadaan tersebut yang saya garap pada dinding untuk latar suasananya.



“KAMU YANG MANA?

Tinta di atas kertas, Tembok

2018

  Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati 




  Kredit Foto : Dok. Jeki Setiawati 





Pameran "XYCLO" 7 perupa muda pilihan Ugeng T.Moetidjo akan berakhir hari ini, 27 November 2018. Galeri kertas membuka pintu sebesar-besarnya bagi teman-teman yang belum berkunjung ataupun ingin berkunjung lagi untuk menikmati karya-karya mereka.

Galeri kertas buka dari jam 10 pagi sampai dengan jam 5 sore.


 Untuk informasi mengenai Galerikertas sila cek di http://www.studiohanafi.com/aktivitas/aktivitas-galerikertas/




Atau memfollow akun IG @galerikertas_art dan Fans Page FB di https://web.facebook.com/galerikertas/ 


 #BloggerGalleryTour

#XYCLO




    kredit foto: Dok. Ibra Aghari